Penulisanku

CERPEN: BERCAKAP DENGAN AYAH DALAM IMAJI

 

Ahhhh… hari baru telah tiba. Hal itu diketahui Si Sulung dari dentuman batu. Ibu sedang meniti jagung. Tak lama berselang, ayam yang hinggap di pohon waru sebelah barat rumah berkokok menyambut terang di hari baru. Si Bungsu, yang terbaring di bagian paling kiri masih terlelap. Si Sulung segera menurunkan kaki pendeknya, bermaksud ke dapur. Duduk di samping ibunda agar dapat mengambil jagung titi. Namun, ketika melewati ruang tengah, ada sesosok pria putih yang cukup tinggi memanggilnya. Lalu meletakan Si Sulung duduk dipangkuannya.

“Apa kabar anakku?”

Kening pendek Si Sulung berkenyit kebingungan. Sebab, dari ibu, ia mengetahui bahwa ayahnya pergi merantau saat Si Bungsu hendak berusia dua bulan.

“Kapan Ayah pulang?”

“Pulang?” Si Sulung mengangguk.

“Kata ibu, ayah pergi merantau. Semua ayah yang ada di kampung, bila tidak cukup menghasilkan uang, mereka pergi merantau”. Sang Ayah perlahan-lahan mengerti. Digerakkan tangan kekarnya menggaruk rambut gondrongnya.

Sang Ayah memahami, Dua anaknya masih kecil. Belum memahami hitam putih langkah kaki di perjalanan hidup.

“Ohh.. iya benar” jawab Sang Ayah penuh kekhawatiran.

“Mau ku buatkan kopi?” tawar Si Sulung. Dalam benaknya, ia harus melakukan kewajiban membuatkan kopi buat ayah, seperti cerita teman-temannya di sekolah. Tanpa menunggu jawaban, Si Sulung melompat dari pangkuan Sang Ayah. Berlangkah cepat ke dapur. Tak lama berselang, ia membawakan segelas teh dan sepiring jagung titi.

“Maaf Ayah. Di dapur tidak ada kopi, hanya teh. Ini pun di buatkan ibu, sebab aku memecahkan gelas saat menuangkan air panas dari termos”.

Sang Ayah pun tersadar, ternyata suara tinggi dari istrinya dikarenakan gelas pecah.

“Tidak apa-apakan Ayah”

“Iyaa… tidak apa-apa sayang” Jawab Sang Ayah seraya menggangkat Si Sulung lalu meletakan kembali ke pangkuannya.

“Bagimana kabar Ayah?”

“Ayah baik-baik saja. Ayah merindukan kalian, sehingga Ayah datang mengunjungi kalian”

“Ayah akan kembali merantau?” Si Sulung bertanya dengan kecemasan seraya mengunyah pelan jagung titi. Kecemasan Si Sulung terjawab. Sang Ayah mengangguk tanpa beban.

“Jangan jatuh air matamu”, Sang Ayah menegur pelan.

“Iya Ayah”

Keduanya diam sesaat.

“Anakku, Ayah akan kembali pergi….”

“Ayah kembali merantau?” perkataan Sang Ayah dipotong Si Sulung.

“Iya… dan kali ini Ayah tidak tahu kapan Ayah pulang”

“Kenapa begitu Ayah. Apakah Ayah tidak memikirkan kami?”

Tanpa dilihat Si Sulung, sebulir air mata mengalir dari sudut mata Sang Ayah.

“Maafkan Ayah, anakku”, bisik Sang Ayah dengan suara parau

“Kenapa Ayah meminta maaf padaku?” suara parau Sang Ayah didengar Si Sulung.

Dada Sang Ayah terasa sesak. Tatapan datar menuju ke langit-langit rumah yang dibangunnya dengan susah payah sebelum meminang kekasih hati yang kini perlahan digerogoti rayap. Dinodai waktu. Wajah penuh kekhawatiran kini beralih menatap telapak kaki kecil Si Sulung.

“Suatu saat kamu akan mengerti, kenapa Ayah meminta maaf pada kamu. Dan juga tolong sampaikan pada adikmu, Si Bungsu”

“Ohh iya, selama Ayah pergi merantau, kamu harus menjadikan semua ayah yang ada di kampung ini adalah ayahmu. Itu juga berlaku buat Bungsu”

“Dengarkan kata Kakek dan Nenek. Jalanilah hidup seperti mereka”.

“Iya Ayah…”

“Pergilah ke ibu. Mintalah padanya sepiring jagung titi lagi”. Si Sulung lekas berlangkah ke dapur. Sekembalinya di ruang tengah, Sang Ayah telah pergi merantau. Air mata perlahan membasahi pipi, mengalir pelan menggenangi tikar.

Ahhh… Hari baru telah tiba. Hal itu diketahui Si Sulung dari dentuman batu. Nenek sedang melunakankan pinang buat sarapan paginya.

 

Di ruang sunyi

Rumah ayah yang dinodai waktu,

Kimakama, 16 Agustus 2020.

Salverius Jagom

Guru Fisika Di SMA Negeri 2 Nubatukan